Explode by Benaya Stephen (Synopsis)


EXPLODE 
Written By
Benaya Stephen  
Synopsis

Wahyu, seorang pekerja kantoran muda di sebuah perusahaan swasta, menjalani hidupnya dengan pekerjaan dan rutinitas yang monoton. Seperti kebanyakan lulusan-lulusan sarjana di negara ini, belajar setinggi langit dan berakhir menjadi budak berkerah perusahaan neo-capitalist. Setiap pagi jam wakernya berbunyi tepat pada pukul 04.00 dini hari yang berarti ia harus memulai kegiatannya di kota borjuis ini. Disusul dengan alarm handphonenya yang berbunyi tepat 15 menit setelah jam wakernya berbunyi untuk mengingatkannya bangun in case dia belum terjaga dari waker analognya itu. Tidak lupa Handphonenya selalu tercas teratur dan baterai HPnya selalu terisi penuh bertepatan ketika ia bangun pagi. Wahyu memang adalah pribadi yang tepat, teratur, patuh, kaku, dan taat aturan. Sekilas ia terlihat seperti robot karena sangat susah untuknya mengungkapkan perasaan dan kemauan pribadinya. Ia terlalu takut dengan kehidupan dan segalanya sehingga apa yang tersisa dari egonya sudah hampir sirna dari dirinya.
Setelah mematikan alarm Handphonenya ia selalu mandi, disusul dengan shaving, deodorant, etc, dan selesai tepat pukul 04.30. Lalu ia membuka lemari pakaiannya untuk memilih kemeja berlengan panjang, celana bahan, sabuk, dasi, dan sepatu fantofelnya, semua atribut ala semua budak berkerah dikota itu.Dan tepat pada pukul05.00 ia berangkat menuju tempat kerjanya yang cukup jauh karena jakarta yang selalu macet. Kegiatan kerjanya dimulai pada pukul 07.00 tepat. Rangkaian waktu ini adalah rangkaian yang harus tepat baginya seperti program komputer karena kalau semenit saja ia meleset dari jadwal ini maka ia akan terlambat masuk kerja dan pastinya akan berakibat buruk bagi Wahyu yang hanya seorang pekerja biasa dengan posisi standard yang gampang tergantikan oleh para kandidat baru pencari kerja yang tak terhitung jumlahnya di era krisis finansial ini.
Siksaan untuk Wahyu tidak berakhir sampai situ saja. Ketika memasuki kantornya ia harus selalu berhadapan dengan orang-orang yang menggangu rutinitasnya setiap hari. Melewati sekeretaris yang menyusahkan absennya, teman dekat kantornya yang bernama Fadly yang selalu menepuk punggungnya dengan keras setiap pagi setiap ia datang, disusul dengan teman kantor sebangkunya, Renaldi, yang selalu mengambil pulpen miliknya sekaligus menghibahkan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada wahyu. Dan terakhir ia harus menghadapi rentetan kritikan dan tugas yang menumpuk dari bosnya yang cerewet dan bawel bernama Hanna, belum lagi ia harus mengikuti kumpul-kumpul “basa-basi” karyawan kantornya untuk menjaga hubungan baik dan posisinya didalam kantor. Begitulah keseharian Wahyu setiap harinya dilalui secara konsisten dan monoton.
Keesokan harinya seperti biasa ia bangun pagi dengan rutinitasnya yang seperti robot itu, tetapi sayang pada hari itu ia terlambat sampai di kantornya dan tidak sengaja ia menabrak seorang wanita bertustel yang sedang memfoto-foto lokasi sekitar kantornya. 
Pagi itu Fadli makin menjadi, ia menepuk punggung Wahyu ketika Wahyu sedang membawa tumpukan berkas tugas sehingga ia tersandung. Fadli tertawa melihat rekannya tersandung, dan Wahyu yang sebenarnya kesal tetapi karena sifatnya yang tidak bisa mengungkapkan perasaanya akhirnya hanya tersenyum hambar dan melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya. Seperti biasa ketika baru saja duduk Renaldi langsung menghujani Wahyu dengan berbagai cerita-cerita tidak penting yang berbau menyombongkan dirinya secara beruntun dan tidak lupa ketika Wahyu baru saja ingin mengambil pulpennya untuk mengerjakan tugasnya, tangan Renaldi menyambar pulpen itu dengan ringan dan pergi meninggalkannya. Beberapa saat ketika Wahyu sedang sangat sibuk mengerjakan tugas kantornya yang menumpuk, bosnya, Bu Hanna menghampirinya dengan wajah galak. Ia langsung membanting file berisi berkas di meja Wahyu dan mulai mengkritik kesalahannya dalam tugas kantornya itu didepan rekan-rekan kantornya. Belum lagi ia dikritik karena terlambat dan sepertinya bu Hanna memang sedang dalam suasana hati yang buruk, cercaanya tidak berhenti sampai situ, namun berlanjut sampai penampilan fisik Wahyu pun dikritiknya didepan umum sampai-sampai teman sekantornya pun ikut menertawakannya.
Siang harinya setelah jam istirahat siang, Renaldi dengan senyum sombongnya kembali menghampiri meja Wahyu dan menaruh file tugas yang harusnya adalah tugasnya dia kepada Wahyu. Wahyu ingin menolak permintaan tolong Renaldi tetapi yang keluar hanya kata-kata “Tapi.. tapi.. tapi…” dan Renaldi pun berlalu begitu saja dengan entengnya. Ketika jam pulang kantor, Bu Hanna menyuruh Wahyu untuk lembur tambahan dengan alasan “ingin tes prosedur baru”. Sedangkan banyak pekerja lainnya yang sudah meninggalkan tempat kerja, hanya Wahyu dan beberapa pekerja sial yang terkena lembur dadakan ala romusha tersebut.
Ketika ia ingin pergi meninggalkan kantornya, ia bertemu lagi dengan wanita bertustel yang tidak sengaja ditabraknya pagi itu, ternyata wanita itu adalah seorang fotografer yang sedang mengabadikan moment-moment pekerja kantoran untuk karya fotografi terbarunya yang berjudul “human & drone”. Karena momen yang tak disengaja itu mereka menjadi berbicara satu sama lain di halaman gedung yang sudah mulai sepi itu. Dari pembicaraan Wahyu dan fotografer wanita yang ternyata bernama Gita itu terkuak bahwa ternyata Wahyu dulunya sangat menyukai dan berbakat di bidang fotografi, karya-karyanya sempat merajai komunitas lokal daerahnya ketika ia sekolah, sampai detik ini ia masih menyimpan tustel kesayangannya dan berbagai piagam penghargaannya di kamar tidurnya. Alasan yang membuatnya tidak melanjutkan hobinya adalah karena tentangan kedua orang tuanya yang konservatif. Gita yang ramah itupun berempati dengan kisah Wahyu.
Esoknya, hari kerja dilalui Wahyu seperti biasa dengan monoton dan siksaan-siksaan batin yang setiap hari menghadangnya, ia merasa kosong, hampa, tidak ada satupun yang membuatnya bahagia di karir berdasinya itu. Sepulangnya dari kerja, ia berpapasan lagi dengan Gita yang sedang melanjutkan karya fotografinya, Gita yang ramah mengajak Wahyu untuk mengobrol. Tak disangka, ternyata Wahyu membawa album karya-karya fotografi terbaiknya didalam tas kerjanya. Ia memang berharap ingin bertemu sekali lagi dengan Gita untuk berbagi problema kehidupan kerjanya yang tidak sesuai dengan kebahagiaan hatinya. Sembari melihat-lihat hasil karya fotografi Wahyu yang memukaunya, Gita pun menjelaskan bahwa ia percaya pekerjaan seseorang itu harus sesuai dengan kebahagiaan hati orang tersebut, tidak karena tuntutan perkembangan zaman dan era liberalisme yang tamak. Ia menjelaskan bahwa tidak usah takut akan penghasilan dan apapun pekerjaan itu asalkan seseorang sangat menyukai bidang pekerjaan itu dan pekerjaan tersebut tidak menyalahi moril keagamaan, maka yang mahakuasa sudah menyiapkan mekanisme untuk seseorang bertahan hidup dan berkarya apapun bidangnya, walaupun bidang itu berbeda dari kenormalan budaya manusia di negaranya. Gita menambahkan, “jadilah dirimu sendiri, karena dirimulah yang paling bisa mengasihi kemauan dan kebahagianmu sendiri, janganlah pernah takut untuk bermimpi biarpun yang lainnya terbangun di realitas.. Karena seorang visioner, bahkan revolusioner semuanya bermula dari seorang Pemimpi”. Dan Gita menjelaskan karya terbarunya yang berjudul “human & drone”, bahwa manusia zaman sekarang tidak sadar bahwa era kapitalis telah merubah manusia yang berakal dan berbudi menjadi sebuah drone yaitu mesin yang tak berperasaan dan hanya menjalani perintah pemrogramnya, ia menutupnya dengan statement “Wahyu, apakah elo memilih menjadi seorang manusia seperti yang diciptakan Tuhan? Atau elo lebih memilih menjadi sebuah mesin yang diciptakan sesama lo yaitu manusia?”.
Perkataan Gita membuat Wahyu tak bisa tidur dan memandangi tustel lamanya, esok harinya, pada pagi hari kerja, tidak seperti biasanya, ia bangun lebih siang dari biasanya dengan santai tanpa ketegangan, ia tidak mandi dengan pakaian santai dan rambut acak-acakan ia menuju kantor membawa tustelnya. Sesampainya dikantor, ia melewati sekretaris cerewet itu dan mengacungkan jari tengah kepadanya. Lalu ketika ia masuk, ia melihat Fadli dan menepuknya dengan sangat keras sampai Fadli terjungkal. Sesampainya di meja kerjanya ia menaruh kakinya dimeja seakan-akan ia tidak peduli dengan norma kerja yang mengekangnya. Renaldi datang menghampirinya seperti biasa dengan cengengesan dan menitipkan pekerjaannya di meja Wahyu. Tanpa disangka emosi Wahyu meledak, ia menggampar Renaldi dengan tumpukan tugasnya sendiri sampai ia terjatuh ke lantai, lalu ia membuang berpuluh-puluh pulpen dibadan Renaldi dan berkata “ini yang gw rasakan setiap hari dengan adanya tekanan dari loe! Gimana rasanya?!”. Para pekerja tersentak kaget melihat peristiwa tersebut dan Bu Hanna pun serentak memaki Wahyu, dengan santainya Wahyu membalas ucapan bosnya dengan nada sarkastik dan sinis, “Sebelum elo mengasihani gw dengan hujatan-hujatan lo, kasihanilah diri lo sendiri karena lo ga bisa bermimpi. Lo semua di ruangan ini telah berdegradasi menjadi seonggok mesin yang terbungkus daging.. Gw kasian dengan lo semua.. Kalian adalah manusia yang pintar dan berakal budi.. Pendidikan mahal dan tinggi, lama pula.. Tapi kalian hanya berakhir menjadi budak berkerah untuk ego dan kepentingan seorang diktaktor kapitalist.. You are all just a drone!!”. Ia menutup kalimatnya dengan “I quit!! Because I am only human.. And i! Have a dream!” dan mengacungkan jari tengahnya sambil keluar dari kantornya.
Di akhir cerita, Wahyu terlihat sedang memamerkan karya fotografinya di pameran fotografi bersama Gita, dan ternyata foto-foto karyanya mengabadikan moment hari terakhir ia bekerja di perusahaan terdahulunya sampai moment dimana ia mengutarakan akan berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Moment dan tragedi di hari itu menjadi hasil karya dan kritikan pedas terhadap era kapitalis modern saat ini, karya fotografinya dinamainya dengan judul “Explode”.                                          -End-

Comments

Popular Posts